Jogja Malioboro dan Surga Jogja
Setahun kurang sudah saya menetap di Yogyakarta. Setiap kali menyusuri Malioboro, tidak ada habis-habisnya kekaguman saya akan jalan ini. Ada-ada saja yang membuat kita betah untuk menghabiskan malam disana.
Di saat semua kota tergerus identitasnya oleh kepungan modernisasi, Malioboro semakin kukuh mempertegas perannya sebagai simbol utama kota Yogya dengan lapak pedagang kaki lima yang tak pernah tergusur.
Bagi wisatawan, tidak lengkap rasanya bila tidak menyusuri emper-emper tokoh yang dipenuhi pedagang batik dan cindera mata di sepanjang Malioboro. Turis asing dan wisatawan lokal sangat menkmati tawar menawar barang dengan dengan para pedagang yang setiap saat menawarkan senyum mereka.
Tak peduli dengan pengakuan status keistimewaan Yogyakarta dari pemerintah, toh Malioboro memang istimewa.
Tapi sebenarnya, menurut saya keistimewaan dari Malioboro tidak hanya karena jejalan para pedagang di samping jalan itu. Sesuatu yang tesembunyi dibaliknya justru menarik perhatian saya akan jalan ini.
Bagiku, jalan ini bak garis kontinum yang menghubungkan dua titik ekstrem diantara ujung utara dan ujung selatannya. Ujung utaranya mewakili dunia hiruk pikuk yang menawarkan sensasi bagi yang haus akan hasrat seks, surga dunia yang bagi yang “jablai”. Mengutip ustas, “tempat para penghuni neraka”. Di ujung selatannya kehidupan yang berkebalikan, dimana hidup kelompok masyarakat yang sibuk dengan kehidupan akhiratnya. Tenang, dan lebih memilih berdiam diri di rumah mereka.
Di ujung utara, Mery (nama malam Merinem), masih berdandan dengan gincu barunya, jam baru menujukkan pukul tujum malam, hari belum dimulai, pengunjung biasanya ramai pada pukul 8 hingga 10 malam. Neneng lebih duluan duduk di depan kamarnya di lorong kecil ujung utara belakang malioboro. Semalam ia tak dapat pengunjung satupun, malam ini lebih awal mangkal. Berharap ada yang “gatal” jam-jam segini. Dandanannya dibuat lebih menor, gincunya lebih tebal, roknya jauh lebih mini dipadikan lingerie merah. Hanya saja seksi pakaiannya tidak sebanding dengan tumpukan lemak di sekujur tubuhnya. Sementara diluar lorong kecil itu yang berhubungan langsung dengan jalan Pasar Kembang, sejumlah tukang becak menawarkan jasa mengantarkan ke tempat yang dihuni perempuan-perempuan jauh lebih mudah dan seksi.
Demikian kehidupan malam di pasar kembang, tepat belakang di ujung utara Malioboro. Surga bagi yang rindu dengan kenikamtan duniawi.
Kontras, ketika Neneng dan Mery masih berdandan bersiap menunggu “om-om” ditemani musick house dangdut, di ujung selatan suara azan menggema dari Masjid Gede Kauman. Semua warga keluar rumah menuju masjid. Lepas 20 menit setelahnya, setelah shalat isya, semua kembali ke kediaman masing-masing, praktis lorong-lorong di sekitar Kauman, yang berseberangan ujung selatan Malioboro /Ahmad Yani kemabli sepi. Ketenangan sangat terasa. Kata salah seorang warganya, “disini orang malu parkir depan rumah, apalagi ribut-ribut”. Suasana religious sangat kental dari para pengikut Ahmad Dahlan ini.
Antara Kauman dan Pasar Kembang (sarkem) memang hanya tepaut Malioboro. Namun, perbedaan keduanya bak langit dan bumi.
Dibalik perbedaan itu, tetap saja ada kesamaan diantara keduanya. Yaitu, keduanya dapat menjadi saluran kanalisasi bagi mereka yang lelah dengan hidup. Keduanya menawarkan kesenangan, hanya dengan cara yang berbeda. Yang Jablai dan haus seks, sarkem menjadi pilihan. Dan bagi yang haus akan spriritualitas, berkunjung ke kauman mungkin dapat mengurangi kerinduan akan kehidupan yang tenang dan religious.
Yang saya sulit bayangkan bila ada pengunjung yang berbelanja batik di Malioboro kemudian shalat isya di masjid Gede Kauman, setelah itu menghabiskan malam bersama Mery di sarkem. Wah, betul-betul berwisata.
Malioboro memang istimewa. Tempat dimana saya sadar, antara surga dan neraka memang sangat dekat jaraknya, hanya sepanjang jalan Malioboro.
Oke, teman teman lain wak tu saya akan cerita lebih panjang lagi tetang Jogja Undercover ;)
0 komentar:
Posting Komentar